This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 19 Februari 2013

Perpangkatan


Mengingat kembali
Pangkat Dua Suatu Bilangan
Di kelas V kita telah mengenal bilangan pangkat dua.
Misalnya 82 dan 92.
52 artinya 8 × 8 sehingga dapat ditulis 82 = 64, 92 artinya 9 × 9 sehingga dapat ditulis 92 = 81.
64 dan 81, disebut bilangan kuadrat.
Sekarang kita perhatikan pola berikut:
92   = 9 x 9
      = (9 – 1) x (9 + 1) + 12 = 8 x 10 + 1 = 81
      = (9 – 2) x (9 + 2) + 22 = 7 x 11 + 4 = 81
      = (9 – 3) x (9 + 3) + 32 = 6 x 12 + 9 = 81

962 = 96 x 96 = 9216
      = (96 – 4) x (96 + 4) + 42 = 92 x 100 + 16 = 9216

1042 = 104 x 104 = 10816
  = (104 – 4) x (104 + 4) + 42 = 100 x 108 + 16 = 10816
Secara umum diperoleh:
a2 = (a – b) x (a + b) + b2





Penarikan Akar Pangkat Tiga

Jika sebuah bilangan dikalikan sebanyak tiga kali dengan dirinya sendiri disebut bilangan pangkat tiga. Contoh : 5 X 5 X 5 dibaca lima pangkat tiga atau ditulis 53 dan hasilnya adalah 125 dan 125 disebut  bilangan kubik karena bilangan-bilangan itu dapat dinyatakan sebagai pangkat tiga dari suatu bilangan.
Jadi pangkat tiga adalah mengalikan bilangan yang sama sebanyak tiga kali.
Ada 3 cara penarikan akar tiga
1.      Teknik Perkiraan
Pada teknik ini harus hafal bilangan kubik ≤ 1000.
Tabel Bilangan Hasil Pangkat Tiga
Bilangan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Hasil Pangkat Tiga
 1
8
27
64
125
216
343
512
729
1000
Angka Akhir
1
8
7
4
5
6
3
2
9
0
Angka akhir merupakan angka kunci.
Contoh:
34. 096
                     Bilangan pangkat tiga dengan angka akhir 6 adalah 63 = 216
13= 1 (hasil pangkat tiga yang mendekati 4 adalah 13 = 1)
1 puluhan                                            +                                              6 satuan = 16
Bukti : 16 x 16 16 = 4. 096
Jadi, 3√4. 096 = 16

 319. 683
                     Bilangan pangkat tiga dengan angka akhir 3 adalah 73 = 234
23= 8 (hasil pangkat tiga yang mendekati 19 adalah 23 = 8)
2 puluhan                                            +                                              7 satuan = 27
Bukti : 27 x 27 x 27 = 19. 683
Jadi, 3√19. 683= 27




2.      Menggunakan Faktorisasi Prima
Langkah-langkah:
1.      Tentukan faktor prima
2.      Kelompokkan tiap – tiap 3 faktor yang sama, sehingga dapat diganti dengan faktorisasi prima berpangkat tiga.
3.      Bilangan berpangkat tiga apabila ditarik akar pangkatnya, maka hasilnya bilangan tersebut.
Contoh:
Carilah
1.      Faktor prima dari 4.096 adalah 2, 4.096  = 212
2.      Pengelompokan tiap-tiap 3 faktor prima yang sama
      4.096  = (2 × 2 × 2) × (2 × 2 × 2) × (2 × 2 × 2) × (2 × 2 × 2)
       = 23 × 23 × 23 × 23
Jadi,
 =  = 2 × 2 × 2 × 2 = 16

3.      Teknik Calandra

1.      Kelompokan tiga angka dari belakang
312 812 904
2.      Cari bilangan terbesar yang jika dipangkatkan tiga hasilnya ≤ 12
bilangan itu adalah 2 sebab 23 ≤ 12
312 812 904
                            23 = 8                         
                                   4 812
2 artinya 2 puluhan atau 20
3.  Cari bilangan terbesar yang menenuhi hubungan:
[(3 x 202) + 3 x 20 x ... +...2] x ... ≤ 4812
Bilangan tersebut adalah 3
[(3 x 202) + 3 x 20 x 3 + 32] x 3 ≤ 4812

312 812 904
23 = 8     
                         4 812     

                   [(3 x 202) + 3 x 20 x ... +...2] x ... ≤ 4812
[(3 x 202) + 3 x 20 x 3 + 32] x 3 =    4 617     
                                                                                  195 904
                                      23 artinya 23 ratusan (230)
4.  Cari bilangan terbesar yang memenuhi hubungan:
[(3 x 2302) + 3 x 230 x ... +...2] x ... ≤ 195904
Bilangan itu adalah 4, karena:
[158700 + 690 x 4 + 42] x 4 ≤ 195904
Jadi,  = 234




Teknik Calandra secara singkat

   312 812 904
23 = 8     
                         4 812    
                   [(3 x 202) + 3 x 20 x ... +...2] x ... ≤ 4812
[(3 x 202) + 3 x 20 x 3 + 32] x 3   = 4 617    
                                                                                  195 904
                     [(3 x 2302) + 3 x 230 x .. +...2] x .. ≤     195904
                      [158700 + 690 x 4 + 42] x 4            = 195904      
                                                                                      0


Sumber : P4TK Yogyakarta
                 Beberapa Artikel Matematika

Kamis, 14 Februari 2013

Cerpen


Cerpen:

Melati Merah Untuk Ayah
“Putri ayuku... selamat berjuang, Nak. Meski Ayah berat melepasmu di ‘kehidupan luar’ tapi Ayah percaya kamu pasti bisa. Selalu semangat dan senantiasa berdo’a. . .~salam hangat dan sayang~”
Kulipat kertas itu dan kusimpan kembali. Surat dari Ayah ketika aku baru tinggal disisni. Dibalik jendela kaca aku memandang luar yang masih tampak sepi. Tangan kiriku berdiri telapaknya menopang daguku. Aku mendekat ke jendela kaca dan menyentuh permukaanya dengan telunjuk kananku. Terasa dingin. Bening tampak jelas liuk-liuk aliran tetes hujan yang membasahi kaca.
“Hujan.... kau ingatkan aku pada Ayah”, lirihku.
Lulus SPG (Sekolah Pendidikan Guru) aku mendaftar guru PNS. Tahun pertama bertugas, aku langsung dikirim ke desa ini. Desa yang terletak di luar pulau Jawa, sebuah desa terpencil yang butuh waktu cukup lama untuk mencapai lokasinya. Ditengah gerimis kala itu Ayah mengantarku ke desa ini. Ayah memelukku erat, aku menangis. Kini aku rindu Ayah.
“Pagi-pagi kok melamun, Nduk..” suara Bu Nurma mengagetkanku.
Ia lalu mengambil posisi duduk disampingku. Wanita paruh baya itu tersenyum hangat. Di rumah Bu Nurma inilah aku tinggal. Bu Nurma adalah salah satu dari tiga orang guru yang mengajar di sekolah dasar di desa ini. Aku merasakan kehidupan yang berbeda. Tingal di rumah sederhana, jika mandi harus mengerek timba. Akupun harus berjalan kaki melewati persawahan dan  jalanan tak beraspal untuk sampai ke SD tempat aku mengajar.
***
Sebuah bangunan yang terbuat dari papan kayu adalah SD tempat aku mengajar. Suasana kelas tak sehat, terasa lembab ketika musim hujan. Aku merasa prihatin dan sedih, pada awalnya aku merasa seperti tak kuat dalam kondisi seperti ini.
“...jangan pernah berharap hidup ini penuh dengan kemudahan, tapi senantiasalah berdo’a kepada Tuhan agar menjadi manusia yang kuat dalam menghadapi kerasnya hidup. Jadilah guru yang hebat Nak, kuatlah menghadapi tantangan. Tuhan mengajarkan Ilmu agar kita menuntut ilmu dan menyalurkannya, ibarat air jika ia tak bergerak (tergenang) ia akan rusak, maka ilmu butuh di amalkan. Ajarkan ilmu yang kau dapat karena meskipun sedikit siapa tahu sangat bermanfaat... Berjuanglah dengan penuh semangat penuh cinta kasih. Jangan hanya menjadi melati putih yang anggun nan cantik tapi juga Jadilah melati merah yang berani...”
Teringat surat dari Ayah yang menguatkanku. Kupandangi anak-anak yang wajahnya terhiasi oleh senyum semangat. Senyumku mengembang.
“Selamat pagi anak-anak...” Salamku lantang penuh semangat.
“Selamat pagi Bu guru.....” Jawab mereka dengan tak kalah semangat. Sungguh tak terlukiskan  rasa  bahagia ini tiap kali mereka memanggilku ‘Bu guru’.
“Pelajaran hari ini akan membahas tentang cita-cita. Kalian pasti punya cita-cita yang ingin dicapai. Acungkan tangan dan sebut cita-cita kalian.”
Dengan penuh semangat Rudi berdiri dan mengacungkan tangan.
“Saya, Bu. Saya punya cita-cita ingin jadi Profesor  hebat.”
“Sekarang saja kamu sudah seperti Pak Profesor dengan kepala botak mu,” celetuk Izam. Sontak seisi kelas tertawa riang. Tapi gadis kecil yang duduk di deret kedua hanya diam. Kudekati gadis itu.
“Bunga, apa cita-citamu?” Tanyaku seraya membelai rambut panjangnya. Tapi Dia hanya diam. Matanya tak sedikitpun membalas pandanganku, dia hanya menundukkan kepala. Aku tersenyum mencoba memaklumi.
“Baiklah anak-anak, sekarang tulis saja cita-cita kalian dalam bentuk karangan bebas.”
***
Penampilanku kali ini berbeda, rambut panjangku kukuncir dan aku mengenakan bawahan jarit dengan selendang yang menali di pinggangku. Aku siap membantu Bu Nurma melatih tari anak-anak dan remaja putri di desa ini untuk persiapan menyambut rombongan Pemerintah Kota yang akan berkunjung ke desa ini. Dengan lemah gemulai ku latih mereka, terdapat sepuluh anak dan diantara mereka ada Bunga yang tampak gembira menggerak-gerakkan tubuhnya berbeda sekali dengan dirinya ketika dikelas tadi pagi.
Senja mulai tampak keperakan di ufuk barat. Satu persatu para orang tua menjemput anaknya. Tapi Bunga nampaknya tak dijemput oleh Ayahnya. Akhirnya kuputuskan mengantar Bunga pulang. Tiba-tiba Rangga, anak Bu Nurma yang baru datang dari kota menawari kami untuk naik sepeda motor. Sesampainya di rumah sederhana itu, Bunga ku antarkan masuk. Seorang Lelaki paruh baya berdiri di depan pintu menyambut kami dengan wajah merah padam. Tangannya menarik Bunga dengan kasar.
“Masuk!!” bentaknya kasar. “Aku tak suka kau menari lagi, impian yang tak jelas!”, tambahnya.
Aku tersentak kaget mendengar ucapan itu. Terdengar suara tangis Bunga yang tertahan. Reflek aku hendak masuk rumah dan ingin menenangkan Bunga, tapi tangan  Ayahnya mencegahku masuk.
“Maaf Pak, tak seharusnya Bapak bersikap seperti itu,” suaraku bergetar. Suatu luapan rasa simpati yang muncul secara tiba-tiba membuat air mataku berlinang. “Brakkkk..!!” Lelaki itu menutup pintu rumahnya.
Rangga yang sedari tadi menungguku di pinggir jalan langsung berlari menghampiriku.
***
Dunia larut dalam mimpi. Dingin merajai dalam suasana yang hening tanpa suara. Kubaca surat dari Ayah yang baru datang tadi siang.
“Melati putihku.. semoga kau masih menebarkan wangimu. Sudahkah kau mencoba menjadi melati merah? Semoga kau mampu. Kau telah meraih salah satu cita-citamu, Ayah bangga. Raihlah semua mimpi yang masih kau simpan. Kita semua berhak memiliki dan mengikrarkan apa saja cita-cita kita. “Raihlah mimipimu setinggi langit” apa yag kita inginkan adalah harapan yang harus digapai, perjuangkan semua asa mu, Nak. Berusahalah kau akan memetik buah manisnya. Namun jika asa-asa mu ada yang tak tergapai setelah berusaha, terimalah, karena Tuhan Maha Tau pasti ada hikmah dibalik semua itu...”
Ayah... lagi-lagi suratmu buatku rindu akan sosok arif yang selalu terpancar diwajahmu. Aku jadi teringat Bunga dan Ayahnya. Kuambil karangan Bunga yang masih tersimpan ditas.
“Aku benci dengan cita-citaku! Bapak menentang keras aku menjadi penari, hanya karena cita-citaku sama dengan Ibu yang kini hilang setelah merantau menjadi penari. Tapi Aku suka menari, entahlah...”
Hati ini seperti tercabik-cabik membacanya. Air mataku meleleh hangat. “Ayah, seperti katamu, aku harus berjuang.. mampu menjadi Melati merah yang berani..berani menghadapi dan melawan semua ini..”
***
Aku mencari bukuku disetiap sudut kelas, Rangga pun turut mencari. Aku semakin panik dan sedih karena buku itu tak kunjung ketemu. Serasa tak kuat berdiri lututku menyentuh tanah. Aku menahan tangis, Rangga mencoba menenangkanku. Tiba-tiba aku ingat tadi siang saat aku kebelakang setelah jam sekolah usai kutaruh buku itu di meja dan di kelas masih ada seorang siswa. “Bunga..” gumamku lirih. “Antarkan aku kmbali ke Sanggar,” pintaku pada Rangga.
Ditengah kerumunan anak yang sedang latihan menari aku tak melihat Bunga.
“Bunga ada di pinggir sungai belakang Sanggar...!” Teriak Rangga yang berada di luar Sanggar.
Aku bergegas lari. Aku dan Rangga melihat Bunga hendak ke tengah sungai untuk mengambil buku ku. Aku pun terkejut tak percaya. Dengan cepat Rangga menarik tubuh Bunga lalu menambil buku itu.
“Bunga, kenapa kau lakukan semua ini?!” Bentakku seraya memegang bahu Bunga erat dan menggoncangnya.
“Maaf, Kak. Aku telah membaca sebagian surat-surat yang ada di dalam buku itu. Jujur aku penasaran tiap kali aku melihat Kak Melati tersenyum bahagia setelah membacanya,” kepala Bunga tertunduk, tampak semburat rasa bersalah diwajahnya. Genggaman tanganku di bahunya merenggang.
“Tapi... Aku iri dengan Kakak! Hiks..hiks..”, suara Bunga meninggi dan matanya menatapku tajam, dia melepaskan genggamanku dengan kasar.
“Kau tahu.. itu sangat berarti bagiku...”, ucapku lirih.
“Ya..aku tahu. Ayah Kakak sangat mendukung cita-cita Kak Melati. Ayahku tidak! Buat apa aku menari lagi,” ucapnya sinis dengan berlinang air mata.
“Bunga...maafkan Kakak, Kak Melati mengerti perasaanmu..” pandanganku sayu menatapnya.
Tiba-tiba Ayah Bunga datang dan memaksa Bunga untuk pulang. Sempat meronta namun Bunga tak bisa berbuat apa-apa. Aku dan Rangga terkejut, kami berusaha melawan tapi tak mampu mencegahnya.
***
Sejak tadi siang suasana di rumah Bu Nurma tampak ramai hingga petang ini. Disinilah segala persiapan untuk penyambutan Pemerintah Kota dilakukan. Setelah Rangga melatih anak-anak bernyanyi Ia duduk disampingku yang sedari tadi memandangi secangkir kopi hangat yang berdiri anggun di atas meja.
“Harusnya Bunga ada disini malam ini untuk persiapan pentas tari tunggal besok.” Ucapku sambil terus memandang kepulan asap dari secangkir kopi.
“Tapi bagaimana kita mengambil Bunga dari Ayahnya ditambah sepedaku masih proses perbaikan.” Sahut Rangga.
Aku lalu berdiri dan beranjak pergi. Akan kulakukan malam ini! Tak kuhiraukan teriakan Rangga yang mencegahku pergi.
***
Aku berjalan tertatih menyusuri jalanan terjal yang tak beraspal. Gemuruh halilintar terdengar menandakan hujan akan turun tapi tekadku menjemput Bunga tak surut.
Dengan baju basah kuyup akhirnya aku sampai di rumah Bunga. Kakiku lecet terasa amat perih untuk berjalan dan kepalaku terasa berat, kutahan semua pedih ini.
“Pak tolong ijinkan Bunga untuk tampil besok.” Pintaku. Terlihat Bunga yang berada dibalik tubuh Ayahnya dengan mata sembab.
Ayah Bunga hanya menggeleng kepala. “Tidak bisa!”
Cukup lama aku memberi penjelasan dan pengertian kepada Lelaki itu bahwa menari bukanlah hal yang perlu ditakutkan karena alasan masa silam yang kelam. Melalui pendidikan akan terlahir penari yang tak hanya piawai dalam menari tapi juga penari yang cerdas yang mempunyai prinsip. Namun lagi-lagi Lelaki itu menggeleng kepala dengan wajah tak bersahabat. Aku seperti kualahan menghadapinya.
“Baiklah kalau begitu, tolong sekali ini saja wujudkan impian Bunga. Ijinkan Bunga tampil besok. Setelah ini.... aku...aku tak kan mengajak Bunga menari lagi.” Ucapku menahan air mata dan berusaha menenangkan diri.
“Baikalah, sekali ini saja.” Ucapnya dengan nada tertahan. Tampak berat Lelaki itu mengatakanya.
***
Rombongan Pemerintah Kota tampak sudah menduduki kursi penonton, termasuk Pak Bupati. Tak hanya itu para penonton dari berbagai kalangan juga tampak antusias menyaksikan pertunjukan seni “anak desa” ini. Para oarng tua dari anak-anak yang akan unjuk kebolehan juga tamapk hadir. Tapi mungkin hanya Ayah Bunga yang tak hadir.
Pertunjukkan demi pertunjukan telah berlangsung, sorak sorai penonton menggema. Tiba giliran Bunga untuk tampil. Diiringi tepuk tangan meriah, Bunga maju kedepan, lalu Ia menunduk penuh hormat kepada penonton. Cantik wajahnya dengan mengenakan pakaian khas daerah Ia menari dengan penuh penghayatan. Gerak tarinya yang indah mampu membuat penonton berdecak kagum. Para penonton mulai berdiri, tepuk tangan dan sorak gempita membahana setelah Bunga usai menari.
Di ujung sudut ruangan aku menyaksikannya, sungguh tak terlukiskan luapan rasa bangga dan bahagia ini. Lalu Bunga angkat bicara dengan microphone yang dipegangnya. Suasana hening.
“Tarian tadi untuk Bapakku tersayang yang mungkin kini tak hadir  disini. Dan..untuk Kak Melati yang telah berjuang mewujudkan impianku terimakasih..,” suaranya tertahan menahan air mata.
“Pengorbanan, kasih dan cinta Kak Melati pada kami akan selalu kami ingat, sekali lagi untuk Bapak yang selama ini merawatku penuh kasih meskipun beliau juga tegas aku sangat sayang padanya.” Ucapnya polos.
Terdengar tepuk tangan seseorang di ujung pintu, semua mata lalu tertuju pada sumber suara. Disana  Ayah Bunga tersenyum bangga dengan mata berkaca-kaca dan Ia berjalan mendekati Bunga. Bunga terkejut senyumnya mengembang saat melihat Ayahnya. Ia berlari dan memeluk Ayahnya. Penonton langsung memberi tepuk tangan, mereka ikut larut dalam suasana haru bahagia.
Tanpa terasa ku meneteskan air mata. Aku sangat bahagia melihatnya. Di relung hatiku akupun sangat merindukan Ayah di rumah.
***
Malam ini, dengan mata berkaca-kaca, aku menulis surat untuk Ayah:
Gerimis sudah berhenti sejak tadi, kini gemerlap bintang menghiasi malam. Malam ini aku sendiri, disini aku merindukanmu, Yah. Aku ingin pulang, memeluk tubuhmu, mendengar tutur nasehatmu dan bercerita banyak hal tentang hidupku disini. Terimaksih untuk semuanya, Yah. Kau telah mengajarkan ku untuk memahami perjuangan dan pengorbanan serta semua hal tentang hidup. Melati putihmu kini sedikit demi sedikit mampu menjadi Melati  merah yang berani.
“Mungkin suatu hari nanti aku akan mampu memahami dengan sempurna tentang perjuangan dan pengorbanan. Tapi saat ini aku dibiarkan belajar memahaminya mencari tahu selangkah demi selangkah untuk bisa mengartikan banyak hal tentang makna hidup ini”
Melati akan pulang untuk Ayah..I miss U..
                                                                                    With Love        
                                                                                                ~Melati Sukma Ayu~

Created by Persis Lutfiana Damayanti;)
Madiun, Mei 2011 (Selalu semangat dan bersungguh-sungguh dalam segala hal)