Cerpen:
Melati Merah
Untuk Ayah
“Putri
ayuku... selamat berjuang, Nak. Meski Ayah
berat melepasmu di ‘kehidupan luar’ tapi Ayah percaya kamu pasti bisa. Selalu
semangat dan senantiasa berdo’a. . .~salam hangat dan sayang~”
Kulipat kertas itu dan kusimpan kembali.
Surat dari Ayah ketika aku baru tinggal disisni. Dibalik jendela kaca aku
memandang luar yang masih tampak sepi. Tangan kiriku berdiri telapaknya
menopang daguku. Aku mendekat ke jendela kaca dan menyentuh permukaanya dengan
telunjuk kananku. Terasa dingin. Bening tampak jelas liuk-liuk aliran tetes
hujan yang membasahi kaca.
“Hujan.... kau ingatkan aku pada Ayah”,
lirihku.
Lulus SPG (Sekolah Pendidikan Guru) aku
mendaftar guru PNS. Tahun pertama bertugas, aku langsung dikirim ke desa ini.
Desa yang terletak di luar pulau Jawa, sebuah desa terpencil yang butuh waktu
cukup lama untuk mencapai lokasinya. Ditengah gerimis kala itu Ayah mengantarku
ke desa ini. Ayah memelukku erat, aku menangis. Kini aku rindu Ayah.
“Pagi-pagi kok melamun, Nduk..” suara Bu
Nurma mengagetkanku.
Ia lalu mengambil posisi duduk
disampingku. Wanita paruh baya itu tersenyum hangat. Di rumah Bu Nurma inilah
aku tinggal. Bu Nurma adalah salah satu dari tiga orang guru yang mengajar di
sekolah dasar di desa ini. Aku merasakan kehidupan yang berbeda. Tingal di
rumah sederhana, jika mandi harus mengerek timba. Akupun harus berjalan kaki
melewati persawahan dan jalanan tak
beraspal untuk sampai ke SD tempat aku mengajar.
***
Sebuah bangunan yang terbuat
dari papan kayu adalah SD tempat aku mengajar. Suasana kelas tak sehat, terasa
lembab ketika musim hujan. Aku merasa prihatin dan sedih, pada awalnya aku
merasa seperti tak kuat dalam kondisi seperti ini.
“...jangan
pernah berharap hidup ini penuh dengan kemudahan, tapi senantiasalah berdo’a
kepada Tuhan agar menjadi manusia yang kuat dalam menghadapi kerasnya hidup.
Jadilah guru yang hebat Nak, kuatlah menghadapi tantangan. Tuhan mengajarkan
Ilmu agar kita menuntut ilmu dan menyalurkannya, ibarat air jika ia tak bergerak (tergenang) ia akan rusak, maka ilmu
butuh di amalkan. Ajarkan ilmu yang kau dapat karena meskipun sedikit siapa
tahu sangat bermanfaat... Berjuanglah dengan penuh semangat penuh cinta kasih.
Jangan hanya menjadi melati putih yang anggun nan cantik tapi juga Jadilah
melati merah yang berani...”
Teringat surat dari Ayah yang menguatkanku.
Kupandangi anak-anak yang wajahnya terhiasi oleh senyum semangat. Senyumku
mengembang.
“Selamat pagi
anak-anak...” Salamku lantang penuh semangat.
“Selamat pagi Bu
guru.....” Jawab mereka dengan tak kalah semangat. Sungguh tak terlukiskan rasa
bahagia ini tiap kali mereka memanggilku ‘Bu guru’.
“Pelajaran hari ini
akan membahas tentang cita-cita. Kalian pasti punya cita-cita yang ingin
dicapai. Acungkan tangan dan sebut cita-cita kalian.”
Dengan penuh semangat Rudi berdiri dan
mengacungkan tangan.
“Saya, Bu. Saya punya
cita-cita ingin jadi Profesor hebat.”
“Sekarang saja kamu sudah
seperti Pak Profesor dengan kepala botak mu,” celetuk Izam. Sontak seisi kelas
tertawa riang. Tapi gadis kecil yang duduk di deret kedua hanya diam. Kudekati
gadis itu.
“Bunga, apa
cita-citamu?” Tanyaku seraya membelai rambut panjangnya. Tapi Dia hanya diam.
Matanya tak sedikitpun membalas pandanganku, dia hanya menundukkan kepala. Aku
tersenyum mencoba memaklumi.
“Baiklah anak-anak,
sekarang tulis saja cita-cita kalian dalam bentuk karangan bebas.”
***
Penampilanku kali ini
berbeda, rambut panjangku kukuncir dan aku mengenakan bawahan jarit dengan
selendang yang menali di pinggangku. Aku siap membantu Bu Nurma melatih tari
anak-anak dan remaja putri di desa ini untuk persiapan menyambut rombongan
Pemerintah Kota yang akan berkunjung ke desa ini. Dengan lemah gemulai ku latih
mereka, terdapat sepuluh anak dan diantara mereka ada Bunga yang tampak gembira
menggerak-gerakkan tubuhnya berbeda sekali dengan dirinya ketika dikelas tadi
pagi.
Senja mulai tampak
keperakan di ufuk barat. Satu persatu para orang tua menjemput anaknya. Tapi
Bunga nampaknya tak dijemput oleh Ayahnya. Akhirnya kuputuskan mengantar Bunga pulang.
Tiba-tiba Rangga, anak Bu Nurma yang baru datang dari kota menawari kami untuk
naik sepeda motor. Sesampainya di rumah sederhana itu, Bunga ku antarkan masuk.
Seorang Lelaki paruh baya berdiri di depan pintu menyambut kami dengan wajah
merah padam. Tangannya menarik Bunga dengan kasar.
“Masuk!!” bentaknya
kasar. “Aku tak suka kau menari lagi, impian yang tak jelas!”, tambahnya.
Aku tersentak kaget
mendengar ucapan itu. Terdengar suara tangis Bunga yang tertahan. Reflek aku
hendak masuk rumah dan ingin menenangkan Bunga, tapi tangan Ayahnya mencegahku masuk.
“Maaf Pak, tak
seharusnya Bapak bersikap seperti itu,” suaraku bergetar. Suatu luapan rasa
simpati yang muncul secara tiba-tiba membuat air mataku berlinang. “Brakkkk..!!”
Lelaki itu menutup pintu rumahnya.
Rangga yang sedari tadi
menungguku di pinggir jalan langsung berlari menghampiriku.
***
Dunia larut dalam
mimpi. Dingin merajai dalam suasana yang hening tanpa suara. Kubaca surat dari
Ayah yang baru datang tadi siang.
“Melati
putihku.. semoga kau masih menebarkan wangimu. Sudahkah kau mencoba menjadi
melati merah? Semoga kau mampu. Kau telah meraih salah satu cita-citamu, Ayah
bangga. Raihlah semua mimpi yang masih kau simpan. Kita semua berhak memiliki
dan mengikrarkan apa saja cita-cita kita. “Raihlah mimipimu setinggi langit”
apa yag kita inginkan adalah harapan yang harus digapai, perjuangkan semua asa
mu, Nak. Berusahalah kau akan memetik buah manisnya. Namun jika asa-asa mu ada
yang tak tergapai setelah berusaha, terimalah, karena Tuhan Maha Tau pasti ada
hikmah dibalik semua itu...”
Ayah... lagi-lagi
suratmu buatku rindu akan sosok arif yang selalu terpancar diwajahmu. Aku jadi
teringat Bunga dan Ayahnya. Kuambil karangan Bunga yang masih tersimpan ditas.
“Aku
benci dengan cita-citaku! Bapak menentang keras aku menjadi penari, hanya
karena cita-citaku sama dengan Ibu yang kini hilang setelah merantau menjadi
penari. Tapi Aku suka menari, entahlah...”
Hati ini seperti
tercabik-cabik membacanya. Air mataku meleleh hangat. “Ayah, seperti katamu,
aku harus berjuang.. mampu menjadi Melati merah yang berani..berani menghadapi
dan melawan semua ini..”
***
Aku mencari bukuku disetiap
sudut kelas, Rangga pun turut mencari. Aku semakin panik dan sedih karena buku
itu tak kunjung ketemu. Serasa tak kuat berdiri lututku menyentuh tanah. Aku
menahan tangis, Rangga mencoba menenangkanku. Tiba-tiba aku ingat tadi siang
saat aku kebelakang setelah jam sekolah usai kutaruh buku itu di meja dan di
kelas masih ada seorang siswa. “Bunga..” gumamku lirih. “Antarkan aku kmbali ke
Sanggar,” pintaku pada Rangga.
Ditengah kerumunan anak
yang sedang latihan menari aku tak melihat Bunga.
“Bunga ada di pinggir
sungai belakang Sanggar...!” Teriak Rangga yang berada di luar Sanggar.
Aku bergegas lari. Aku
dan Rangga melihat Bunga hendak ke tengah sungai untuk mengambil buku ku. Aku
pun terkejut tak percaya. Dengan cepat Rangga menarik tubuh Bunga lalu menambil
buku itu.
“Bunga, kenapa kau
lakukan semua ini?!” Bentakku seraya memegang bahu Bunga erat dan
menggoncangnya.
“Maaf, Kak. Aku telah
membaca sebagian surat-surat yang ada di dalam buku itu. Jujur aku penasaran
tiap kali aku melihat Kak Melati tersenyum bahagia setelah membacanya,” kepala
Bunga tertunduk, tampak semburat rasa bersalah diwajahnya. Genggaman tanganku
di bahunya merenggang.
“Tapi... Aku iri dengan
Kakak! Hiks..hiks..”, suara Bunga meninggi dan matanya menatapku tajam, dia
melepaskan genggamanku dengan kasar.
“Kau tahu.. itu sangat
berarti bagiku...”, ucapku lirih.
“Ya..aku tahu. Ayah
Kakak sangat mendukung cita-cita Kak Melati. Ayahku tidak! Buat apa aku menari
lagi,” ucapnya sinis dengan berlinang air mata.
“Bunga...maafkan Kakak,
Kak Melati mengerti perasaanmu..” pandanganku sayu menatapnya.
Tiba-tiba Ayah Bunga
datang dan memaksa Bunga untuk pulang. Sempat meronta namun Bunga tak bisa
berbuat apa-apa. Aku dan Rangga terkejut, kami berusaha melawan tapi tak mampu
mencegahnya.
***
Sejak tadi siang
suasana di rumah Bu Nurma tampak ramai hingga petang ini. Disinilah segala
persiapan untuk penyambutan Pemerintah Kota dilakukan. Setelah Rangga melatih
anak-anak bernyanyi Ia duduk disampingku yang sedari tadi memandangi secangkir
kopi hangat yang berdiri anggun di atas meja.
“Harusnya Bunga ada
disini malam ini untuk persiapan pentas tari tunggal besok.” Ucapku sambil
terus memandang kepulan asap dari secangkir kopi.
“Tapi bagaimana kita
mengambil Bunga dari Ayahnya ditambah sepedaku masih proses perbaikan.” Sahut
Rangga.
Aku lalu berdiri dan
beranjak pergi. Akan kulakukan malam ini! Tak kuhiraukan teriakan Rangga yang
mencegahku pergi.
***
Aku berjalan tertatih
menyusuri jalanan terjal yang tak beraspal. Gemuruh halilintar terdengar menandakan
hujan akan turun tapi
tekadku menjemput Bunga tak surut.
Dengan baju basah kuyup
akhirnya aku sampai di rumah Bunga. Kakiku lecet terasa amat perih untuk
berjalan dan kepalaku terasa berat, kutahan semua pedih ini.
“Pak tolong ijinkan
Bunga untuk tampil besok.” Pintaku. Terlihat Bunga yang berada dibalik tubuh
Ayahnya dengan mata sembab.
Ayah Bunga hanya
menggeleng kepala. “Tidak bisa!”
Cukup lama aku memberi
penjelasan dan pengertian kepada Lelaki itu bahwa menari bukanlah hal yang
perlu ditakutkan karena alasan masa silam yang kelam. Melalui pendidikan akan
terlahir penari yang tak hanya piawai dalam menari tapi juga penari yang cerdas
yang mempunyai
prinsip. Namun lagi-lagi Lelaki itu menggeleng kepala dengan wajah tak
bersahabat. Aku seperti kualahan menghadapinya.
“Baiklah kalau begitu,
tolong sekali ini saja wujudkan impian Bunga. Ijinkan Bunga tampil besok.
Setelah ini.... aku...aku tak kan mengajak Bunga menari lagi.” Ucapku menahan
air mata dan berusaha menenangkan diri.
“Baikalah, sekali ini
saja.” Ucapnya dengan nada tertahan. Tampak berat Lelaki itu mengatakanya.
***
Rombongan Pemerintah
Kota tampak sudah menduduki kursi penonton, termasuk Pak Bupati. Tak hanya itu
para penonton dari berbagai kalangan juga tampak antusias menyaksikan
pertunjukan seni “anak desa” ini. Para oarng tua dari anak-anak yang akan unjuk
kebolehan juga tamapk hadir. Tapi mungkin hanya Ayah Bunga yang tak hadir.
Pertunjukkan demi
pertunjukan telah berlangsung, sorak sorai penonton menggema. Tiba giliran
Bunga untuk tampil. Diiringi tepuk tangan meriah, Bunga maju kedepan, lalu Ia
menunduk penuh hormat kepada penonton. Cantik wajahnya dengan mengenakan
pakaian khas daerah Ia menari dengan penuh penghayatan. Gerak tarinya yang
indah mampu membuat penonton berdecak kagum. Para penonton mulai berdiri, tepuk
tangan dan sorak gempita membahana setelah Bunga usai menari.
Di ujung sudut ruangan
aku menyaksikannya, sungguh tak terlukiskan luapan rasa bangga dan bahagia ini.
Lalu Bunga angkat bicara dengan microphone yang dipegangnya.
Suasana hening.
“Tarian tadi untuk
Bapakku tersayang yang mungkin kini tak hadir
disini. Dan..untuk Kak Melati yang telah berjuang mewujudkan impianku
terimakasih..,” suaranya tertahan menahan air mata.
“Pengorbanan, kasih dan
cinta Kak Melati pada kami akan selalu kami ingat, sekali lagi untuk Bapak yang
selama ini merawatku penuh kasih
meskipun
beliau juga tegas aku sangat sayang padanya.” Ucapnya polos.
Terdengar tepuk tangan
seseorang di ujung pintu, semua mata lalu tertuju pada sumber suara.
Disana Ayah Bunga tersenyum bangga
dengan mata berkaca-kaca dan Ia berjalan mendekati Bunga. Bunga terkejut
senyumnya mengembang saat melihat Ayahnya. Ia berlari dan memeluk Ayahnya.
Penonton langsung memberi tepuk tangan, mereka ikut larut dalam suasana haru
bahagia.
Tanpa terasa ku
meneteskan air mata. Aku sangat bahagia melihatnya. Di relung hatiku akupun
sangat merindukan Ayah di rumah.
***
Malam ini, dengan mata
berkaca-kaca, aku menulis surat untuk Ayah:
Gerimis
sudah berhenti sejak tadi, kini gemerlap bintang menghiasi malam. Malam ini aku
sendiri, disini aku merindukanmu, Yah. Aku ingin pulang, memeluk tubuhmu,
mendengar tutur nasehatmu dan bercerita banyak hal tentang hidupku disini. Terimaksih untuk semuanya, Yah. Kau
telah mengajarkan ku untuk memahami perjuangan dan pengorbanan serta semua hal
tentang hidup. Melati putihmu kini sedikit demi sedikit mampu menjadi
Melati merah yang berani.
“Mungkin
suatu hari nanti aku akan mampu memahami dengan sempurna tentang perjuangan dan
pengorbanan. Tapi saat ini aku
dibiarkan belajar memahaminya mencari
tahu selangkah demi selangkah untuk bisa mengartikan banyak hal tentang makna
hidup ini”
Melati akan pulang untuk Ayah..I
miss U..
With
Love
~Melati Sukma Ayu~
Created by Persis Lutfiana Damayanti;)
Madiun,
Mei 2011 (Selalu semangat dan bersungguh-sungguh dalam segala hal)